Hari itu
memang berbeda. Biasanya putra pasangan Suparti dan Jaman ini berangkat ke
sekolah naik mikrolet. Tetapi, ia mengaku tak tega jika harus meminta uang saku
pada orangtuanya. Dengan tekad yang kuat ia memutuskan berjalan kaki menuju
sekolahnya, SMA Islam Kartika yang berjarak empat kilometer dari rumahnya.
Perjuangan
yang harus dilalui Rofi ’i tak hanya itu. Jauh sebelumnya, ketika ia masih
duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI), ia sudah terbiasa dengan asam garam
kehidupan yang menuntutnya harus berusaha maksimal untuk menghadapinya. “Bapak
saya tukang becak, sedangkan ibu penjual buah pisang keliling. Keduanya tidak
tamat SMA, sama seperti keenam saudara saya. Saya nggak mau terlalu
merepotkan mereka dengan urusan biaya sekolah. Jadi saya sekolah sambil kerja.
Dari jadi tukang sapu, loper koran, sampai narik becak pun pernah saya
lakukan,” ujar anak ke tiga dari tujuh bersaudara itu.
Sejak kelas
satu di MI Bina Bangsa, peringkat satu di kelas sudah menjadi langganannya.
Karena itu Ia berhak menerima beasiswa dari sekolah. Prestasinya kian menanjak
kala menapaki kelas empat. Sehingga ia di daftarkan Sukamto, gurunya, untuk
mendapatkan beasiswa Pena Bangsa YDSF Surabaya.
Di samping itu
sejak kelas empat MI, ia sudah terbiasa jarang pulang ke rumah. Setiap hari ia
menghabiskan waktunya di MI/SMP. “Sebenarnya rumah saya tidak terlalu jauh dari
sini (MI/ SMP Bina Bangsa,Red). Tapi, saya lebih suka menginap di
sekolah. Walau hanya tidur di sofa atau menggelar tikar di lantai, buat saya
itu cukup. Sebab, saya ingin mandiri sambil menimba ilmu yang lebih banyak di
sekolah. Bagi saya sekolah bagaikan rumah kedua,” tutur alumnus MI dan SMP Bina
Bangsa 2 itu.
Pria 24 tahun itu
menambahkan, guru dan orangtuanya tak pernah mempermasalahkan hal itu. Mereka
memberi
kepercayaan
penuh kepadanya. Kepercayaan itu tidak disiasiakan Rofi’i. Ia pun semakin giat
belajar dan membantu menyelesaikan pekerjaan guru. Karena potensi dan
keaktifannya, pihak sekolah memberikan kepercayaan kepadanya untuk bekerja
sebagai petugas entri data.
Dari situlah
ia mulai mengenal dunia Informasi Teknologi (IT) dan seluk beluk komputer. Ia
pun tertarik mendalaminya. Secara otodidak, pria yang mempunyai cita-cita
menjadi tentara itu belajar melalui internet.
Meskipun
bekerja, bukan berarti mengganggu sekolahnya. Prestasinya masih stabil sampai
ia SMP dan SMA. “Uang yang saya terima dari YDSF setiap semester itu sepenuhnya
saya gunakan untuk keperluan sekolah. Alhamdulillah, beasiswa tersebut
benar-benar membantu saya dalam menyelesaikan sekolah sampai SMA,” ujar
penggemar sepak bola itu sembari tersenyum.
Ujian Allah
Tetapi kisah
perjuangannya itu, tak luput dari cobaan Allah. Saat kelas 3 SMA ia berduka.
Ibunya tercinta ‘pergi’ untuk selamalamanya. Dirinya sempat kecewa karena saat
itu tak berada di samping ibunya. “Meski jarang bertemu, Ibu adalah sosok yang
selalu ada ketika saya membutuhkan,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
“Saya sempat tidak
masuk sekolah beberapa minggu. Tapi saya mendapatkan suntikan semangat baru,
setelah guru dan teman-teman datang ke rumah dan memberikan motivasi untuk
saya,” lanjutnya.
Semakin hari,
ilmu dan pengetahuannya soal IT semakin bertambah pesat. Lulus SMA (2008),
akhirnya ia dipercaya mengajar komputer di SMP Bina Bangsa. Menurutnya ini
sebuah kejutan sekaligus berkah, karena bisa mengabdi di tempat yang telah membesarkannya.
Selain
mengajar, ia juga bertanggungjawab atas database sekolah dan
pengembangan perangkat IT. Ia ingin guru-gurunya semasa sekolah, yang kini menjadi
rekan kerjanya itu jadi melek IT. Karenanya, ia pun telaten mengajarkan pada
mereka dan menjadi tempat konsultasi berbagai masalah IT. “Kini saya ingin
mengabdi di tempat yang sudah membesarkan saya ini. Saatnya saya membalas jasa
para guru yang sudah mendidik saya,” tegasnya. naskah: subagus indra I foto:
fahrizal tito