Kita memerlukan Rasa Sakit...!!!

Kita memerlukan Rasa Sakit...!!!

Wajah Irvan diliputi mendung. Baginya, tempat curhat, mencurahkan isi hati yang paling tepat adalah ayah bundanya. Maka usai makan malam, ia menunggu setelah sorenya ia curahkan semua permasalahannya. Di mata Irvan, ibu dan ayahnya adalah pendengar yang super baik.
“Menurut pendapatmu, apakah kuda pacu mengerti mengapa ia harus berlari menuju garis fi nis?” tanya ayah.
“Rasanya sih enggak,” jawab Irvan dan Putri nyaris serentak.
“Ayah pikir juga begitu. Kuda itu lari kencang karena rasa sakit dicambuk joki. Jadi, sakit yang kita rasakan, boleh jadi memang diperlukan untuk membuat kita terpacu berlari mencapai tujuan.”
Irvan dan Putri terdiam. Mungkin khawatir kedua anak itu tidak memahami pesan cerita ayahnya, ibu menimpali.
“Kadangkala ujian datang dalam bentuk sangat menyakitkan. Dikhianati kekasih, dijegal teman sejawat, atau ditelikung sahabat. Sesuatu yang tidak masuk akal sehat. Tapi semuanya terjadi!”
“Ya, memang itu yang terasa menyakitkan: dikhianati sahabat. Kalau ditelikung musuh, mungkin masih bisa Irvan terima. Benar-benar menyakitkan.”
Untuk beberapa saat, suasana meja makan itu senyap. Ibu membaca dengan sangat jelas guratan kepedihan putranya. Trenyuh!
“Nabi Yusuf dibuang ke sumur oleh saudaranya, diperdagangkan sebagai budak, difi tnah oleh istri pembesar hingga harus masuk penjara. Tapi semua itu ternyata bagian dari proses yang mengantarnya mencapai puncak kejayaannya,” kata ayah.
“Orang bijak mengatakan: sesungguhnya orang yang menyakiti kamu adalah orang baik. Sebab dia telah mengorbankan dirinya sendiri hanya untuk membuat kamu menjadi pribadi yang lebih matang dan anggun,” tutur ibu lembut.
Suasana kembali hening sampai ayah memecahkannya. “Ayah pernah membaca kisah menarik,” katanya. “Seorang pembuat pensil berpesan sebelum memasukkan pensil ke dalam kotak.”
“Loh, pensilnya bisa diajak ngomong ya?!” celetuk Putri.
Ayah tersenyum. “Yaa, namanya juga cerita Put!”
“Oke lanjuuut!”
“Ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui sebelum aku mengirim kamu keluar, agar kamu menjadi pensil terbaik,” katanya kepada pensil.
“Kamu akan mampu melakukan hal-hal besar, hanya jika kamu membiarkan dirimu berada di tangan seseorang. Di tangannya, kamu akan mengalami hal-hal yang menyakitkan saat pemilikmu melakukan penajaman. Itu terjadi dari waktu ke waktu. Namun kamu membutuhkan rasa sakit itu untuk menjadi pensil yang lebih baik.”
“Ingatlah, bagian yang paling penting dari kamu adalah sesuatu yang ada di dalam dirimu. Bagusnya, kamu punya peluang memperbaiki kesalahan yang mungkin kamu lakukan.”
“Dan, setiap kali kamu digunakan, kamu harus meninggalkan tanda. Bagaimana pun kondisimu, kamu harus terus menulis.”
Ayah diam. Irvan berusaha keras membaca arah pembicaraan sekaligus menangkap isi pesannya. Ia mencoba menempatkan dirinya sebagai pensil. Yang terjadi kemudian adalah dialog dalam hatinya. “Aku harus selalu mengingat pesan itu agar menjadi orang terbaik semaksimal kemampuanku.”
“Aku akan mampu melakukan hal-hal besar, hanya jika aku membiarkan diriku berada dalam Tangan Allah dan membuka peluang bagi sesama untuk mengakses ke dalam banyak karunia yang aku miliki.”
“Aku akan mengalami penajaman menyakitkan dari waktu ke waktu, melalui berbagai masalah kehidupan. Dan aku membutuhkannya untuk menjadi orang kuat. Aku harus ingat, bagian paling berarti dariku adalah apa yang ada dalam diriku, bukan badan kasarku.”
“Baiknya, aku diberi peluang memperbaiki kesalahan-kesalahan yang aku lakukan dengan menghapusnya.”
“Di permukaan jalan yang kulalui, aku harus meninggalkan jejak. Tidak peduli bagaimanapun situasinya, aku harus terus melakukan tugas-tugasku sebagai khalifah Allah di bumi.” Irvan lalu tersenyum penuh arti.
“Kamu adalah penentu kebahagiaan hidupmu. Jangan biarkan orang lain merampasnya!” kata ayah.
“Hidup kita ibarat perahu yang dilengkapi dengan alat-alat komunikasi dan kompas. Kita diciptakan dengan sangat baik oleh Allah, dilengkapi dengan bakat serta kemampuan luar biasa. Diberi hati nurani dan akal budi serta kebebasan untuk menjalankan perahu kehidupan kita secara baik dan benar,” sambung Ibu.
“Tidak ada gunanya perahu hebat bila hanya ditambat di dermaga. Kesejatian hidup kita adalah berlayar mengarungi samudra, menembus badai, menghalau gelombang dan menemukan pantai harapan.” ***


Sumber : Kolom POJOK : Majalah Al Falah Edisi Mei 2012 (Zainal Arifin Emka)